Ijen, The Unforgettable Moment

Hari ini saya ngeblog lagi setelah kemarin-kemarin (baca: bulan lalu) janji mau rajin blogging. Niatnya mau post cerita ini jauh-jauh hari, idenya pun sudah lama berputar-putar di kepala, tapi setiap kali mau mulai nulis, ehh… malah bingung mulai nulis dari mana. Jadilah saya bengong di depan laptop. Sebenarnya saya lagi ketagihan sama mobile photography dan saya lebih sering menghabiskan kehidupan di alam maya di tempat ini. Check out and feel free to follow me yahhh 😉

IMG_6925

Ini tentang kejadian awal Juni kemarin. Sudah lama sekali kan? Kalau kata teman saya ibarat kue pasti sudah basi. Heheh. Tapi saya tetap ingin menulisnya di blog ini because I think this is the unforgettable and unbelievable story for me. Bagaimana tidak, 1 Juni kemarin tidak angin tidak hujan, saya tiba-tiba naik gunung. Seumur-umur saya tidak pernah berpikir untuk naik gunung. Memimpikan untuk bisa bermimpi naik gunung saja tidak pernah. Bahkan setelah jatuh hati oleh keindahan Ranukumbolo pasca menonton film 5 cm tidak serta merta membuat saya memasukkan gunung dalam list jalan-jalan saya. Saya cukup tahu diri dengan kondisi fisik saya yang ibarat ditiup angin sedikit saja sudah mau tumbang. Maka dalam kamus saya naik gunung rasa-rasanya tidak mungkin. Tapi toh semuanya saya langgar, saya akhirnya naik gunung. huahahah  😈 #ketawasetan. Nah cerita ini berawal dari rencana jalan-jalan teman-teman satu lembaga kursus sewaktu di saya masih di Pare, Kediri. Destinasi jalan-jalan kami batal karena sesuatu dan lain hal dan diganti dengan trekking ke gunung Ijen. Awalnya saya sempat ragu untuk ikut, takut celaka di gunung. Hehehe. Tapi, dasar saya memang plin plan, saya akhirnya memutuskan ikut di menit-menit terakhir. 😀

Gunung Ijen adalah gunung berapi aktif yang terletak di Kab. Banyuangi, Jawa Timur dengan ketinggian 2.443 mdpl dan telah 4 kali meletus. Apa yang sebenarnya kami cari di puncak Ijen? Ijen memiliki kawah yang merupakan danau kawah terbesar di dunia. Karena proses letusan gunung Ijen terbentuklah sebuah kawah yang dipenuhi air berwarna hijau tosca dan ber-pH sangat asam serta mengandung belerang. Blue fire atau api biru adalah daya tarik untuk datang ke Ijen dimana fenomena ini hanya ada dua di dunia, di Ijen, Indonesia dan di Islandia. Api biru hanya bisa dilihat setelah matahari terbenam hingga dini hari sebelum matahari terbit.

DSC_0560

Kami menuju ke pos pendakian melalui Bondowoso dan berakhir di Paltuding. Jangan tanya saya detail jalurnya yah, bisa dipastikan saya tidak tahu apa-apa 😉 Kami tiba di pos Paltuding ketika jarum jam mulai bergerak ke angka 9. Gelap dan dingin menggigit tipe pegunungan. Beberapa orang berkumpul di mengitari api unggun untuk menghangatkan diri. Saya melipir masuk ke ELF setelah mendapat sebuah syal, tak kuat menahan dingin. Dingin yang sampai ke tulang belulang mengalahkan saya untuk menikmati indahnya langit dengan bintang-bintangnya malam itu, bahkan sorakan orang-orang di luar yang beberapa kali melihat bintang jatuh tak membuat saya beranjak keluar dari ELF. Saya memaksa memejamkan mata yang sebenarnya tidak mau terpejam. Kami akan memulai mendaki pukul 3 dini hari. Sebenarnya pendakian biasanya dimulai pukul 23.00, namun karena aktivitas gunung Ijen meningkat maka pendakian hanya diperbolehkan diatas pukul 03.00 dini hari. Bagaimana rupa Ijen yang sebentar lagi akan saya daki masih abu-abu. Hal apa yang menunggu kami di puncak sana? Bagaimana medan yang akan kami lalui? Berapa lama pendakian hingga sampai ke puncak? Dan apakah saya bisa sampai ke puncak? Menurut bapak-bapak yang sempat kami kepoin di dekat pos penjagaan, lama pendakian berbeda-beda untuk tiap orang. Ada pemula tapi toh bisa sampai ke puncak selang sejam kemudian, ada pula yang hanya jalan 10 meter saja sudah ngos-ngosan dan minta berhenti. Namun, yang jelasnya untuk melihat blue fire yang hanya ada dua di dunia itu, kami harus berjalan sejauh 3 km.

Perjalanan trekking ke kawah Ijen dimulai. Awal-awal jalannya masih berupa paving, enak sekali kalau jalan begini, tapi ternyata pavingnya cuma 100 meteran pemirsaaahhhh, habis itu jalannya tanah naik, naik dan naik lagi dengan tekstur berpasir. Semakin jalan rasa-rasanya semakin menanjak saja. Akhirnya saya menyerah dan teriak minta break, slonjoran, tegak air mineral, ngatur napas. Kalau berencana ke sini sebaiknya rutin jogging dulu gih jauh-jauh hari buat latihan ngatur napas. Ngos-ngosannya berasa sekali buat saya yang jarang (baca: tidak pernah) berolah raga, sedikit-sedikit keabisan napas, sedikit-sedikit minta break dan bisa dipastikan setiap melewati satu tanjakan sayalah yang paling pertama ngeluh minta istirahat. 😀 Justru semakin sering berhenti istirahat malah akan semakin berasa capeknya. Saya masih ingat dengan pesan bapak penambang kala saya selonjoran di tepi tebing berusaha mengumpulkan napas. “Ayo, jangan terlalu lama berhenti, jalannya nda usah cepat, pelan saja yang penting jalan.”

Saya sempat melirik bapak tadi, samar-samar dibawah cahaya senter. Ia berpakaian tebal, bertopi kupluk dengan keranjang ditenteng di bahunya, jalannya enteng bahkan di tanjakan sekalipun. Saya bertanya kepada si bapak “Pak, kawahnya masih jauh nggak?.”

“Sebentar lagi.” Mendengar kata ‘sebentar lagi’ rasanya seperti ada embun sejuk masuk ke ubun-ubun, lalu sepasang sayap muncul di punggung dan berkepak-kepak. Yaeelahhh (oke, saya kebanyakan lebay pada bagian ini) O_o

Lalu si bapak melanjutkan dengan logat jawanya yang kental. “Sebentar lagi ada kantin, ini baru seperdua jalannya, sampeyan bisa ngopi-ngopi dulu di kantin.” Huhuhu, ternyata si bapak juga joga PHP-in orang 😥 Sampai di Pondok Bunder mana bisa ngopi Pak, lah kantinnya saja belum buka.

IMG_6944

Sepanjang jalan 3 km menuju kawah memang didominasi oleh tanjakan demi tanjakan yang kemiringannya antara 35-40 derajat. Satu kilometer pertama jalannya lumayan tidak menyiksa. Nah, memasuki kilometer kedua disini jalur neraka dimulai,hehhe, jalanan mulai menanjak dan semakin berkelok hingga tiba di Pos Bunder. Pos ini adalah kantin yang bapak penambang tadi bilang. Setelah melewati Pos Bunder, masih ada tanjakan yang tersisa, namun hanya sekitar 100 meter saja. Sisanya adalah jalan landai hingga ke bibir kawah.

Well, saya akan mengajak kalian untuk flash back satu hari sebelumnya di Baluran.

Ceritanya saat perjalanan ke savana Bekol di Baluran kami dihadang oleh tiga bule yang lagi manggul ransel segede kulkas. Tenang, si bule-bule ini tidak malak kita, kok. Heheh. Mereka cuma mau minta tumpangan sampai di Bekol. Karena kasihan sama si bule-bule ini yang sudah seperti kepiting rebus berjalan di bawah sinar matahari, kami berilah mereka tumpungan (*ngeless padahal excited satu tumpangan sama orang barat.huahahah 😀 ). Kita kepoin lagi nih bule-bule ini. Ternyata mereka dari kampung halaman Masya and the Bear, Rusia. Mereka cerita kalau mereka tinggal di dekat pegunungan yang seingat saya namanya bikin keseleo lidah (padahal lupa namanya apa. heheh). Catat yah, si bule ini pasti anak gunung. Nah, tibalah giliran kami bercerita kalau kami akan naik Ijen untuk melihat blue fire yang konon hanya ada dua di dunia. “You must visit that place, mister. It’s very highly recommended.” 😎 #pasangmukameyakinkan. Ehhh, ehh…, usut punya usut ternyata si mister ini sudah ke Ijen sebelum ke Baluran. Hueedehhh 😳 Kalau ini acara tv, kita pasti sudah ada di reality show yang suka ngerjain orang itu. Lalu dia cerita kalau dia merasa sangat beruntung masih bisa melihat blue fire sampai pukul 5 dini hari. Berhubung diantara kami belum ada satu pun ke Ijen maka bertanyalah kami tentang medan yang dilalui saat trekking ke puncak Ijen dan tahukah kalian jawaban si mister ini apa? Dengan mantap dan meyakinkan si mister menjawab “I think it was so easy, it wasn’t like you will climb the mountain.O_o Huhuhu, saya jadi membayangkan bagaimana gunung-gunung di Rusia, jika Ijen saja tidak ada apa-apanya buat si mister ini. Mungkin si mister ini waktu naik Ijen berasa kayak gerak jalan santai saja yakkk. Setelah merasakan sendiri tanjakan Ijen, pelajaran moral dari pertemuan kami dengan si mister ini adalah “Pendapat bule tentang gunung itu nisbi.” ❓ Naik gunung itu adalah salah satunya adalah soal fisik. Nah, coba deh secara umum bandingin fisik kita sama orang-orang barat sana. Ibarat Giant dibandingin sama Nobita. Hehehe, peace. Kalau ada bule bilang ngedaki Inca ke Machu Picchu itu susah, percayalah deh sepercaya-percayanya kalau itu bakalan susah buat kita orang Timur. Beda yah kalau mereka bilang alaaaa Ijen itu gampang, jangan buru-buru percaya dulu, karena salah satu korbannya adalah yang lagi nulis postingan ini 😥

Kita kembali ke Ijen yah, kami sampai di bibir kawah Ijen pukul 05.00. Langit mulai terang dan gagallah kami memburu blue fire yang legendaris itu ( I am so sorry friend 😦 gara-gara saya kebanyakan minta break, kita malah lama di jalan). Puncak Ijen ramai, ramai dengan wisatawan karena weakend dan ramai dengan penambang yang lalu lalang memikul keranjang. Kabut dan asap masih menutupi pandangan, namun ketika matahari mulai muncul malu-malu di balik puncak merapi dan perlahan-lahan kabut melipir pergi terpampanglah semua keindahan itu di depan mata. Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban. Danau raksasa dengan air hijau toska serta tebing-tebing bergurat kokoh nan angkuh. Disisi lain, puncak raung mencuat selimuti cincin awan. I feel like i was in another world. Diri ini lalu merasa kecil sekali di puncak Ijen. Saya bersyukur karena diberi kesempatan untuk melihat keindahan ciptaanNya.

ijencrater

IMG_20140601_060827

a

DSC_0573


Setelah puas di puncak Ijen, kami turun. Di pagi hari medan yang kami lalu terlihat jelas. Pemandangan juga tak kalah indahnya. Di samping jalan adalah tebing berbatu yang tidak terlalu curam. Di sisi sebaliknya, saya bisa melihat pemandangan lembah dan Gunung Raung berdiri berdampingan. Ada juga spot seperti hutan mati. Namun yang paling membuat tidak percaya ternyata tanjakan yang kami lalui semalam nanjaknya benar-benar minta ampun. Yakinlah jika saya naik Ijennya siang, liat tanjakan hampir 40 derajat, pasti tidak jadi naik 😕 Untung naiknya malam hari yakkk 😀

DSC_0488

ubah

Nah, perjalanan turun memang tidak sengos-ngosan naiknya cuma lebih pegal gara-gara kebanyakan ngejinjit dan ngerem-ngerem serta kebanyakan ngetawain orang dan diri sendiri yang terpeleset dan jatuh. Tanjakan-tanjakan yang kami lalui semalam berubah menjadi turunan berpasir yang tentunya menjadi licin. Kalau kata teman saya, jalannya harus mirip teknik jalan pinguin atau jalan teletubbies 😛 Kami turun tidak sendirian banyak turis mancanegara juga mulai turun dari puncak Ijen. Nah, seperti yang saya bilang sebelumnya jangan bandingkan fisik kami sama fisik bule-bule ini. Mereka jalannya cepat sekali, langkahnya dua kali dari langkah kami, enteng saja menuruni tanjakan seperti loncat-loncat di taman bermain. Jangan pikir bisa ngejar bule ini yah, setelah melewati satu belokan mereka sudah menghilang dan muncul di kejauhan sana, di ujung belokan lainnya. Huhuhu…, jangan-jangan mereka siluman. Heheh 😆

IMG_6939

Ternyata semakin matahari merambat naik semakin banyak pengunjung yang naik Ijen. Kebanyakan pengungjung lokal ternyata membawa anak-anak mereka 😯 Hohohoh…, gemes rasanya liat anak-anak ini yang senang-senang saja ngedaki sambil lari-lari di tanjakan. Asal kamu tahu yah dek, semalam saya ngeluhnya minta ampun lewat tanjakan itu 😥

20140601_084755

Sampai di Paltuding, pos awal pendakian maka berakhirlah cerita saya naik ke Ijen. Next time saya mau cerita tentang manusia-manusia super dari Ijen, penambang-penambang belerang tradisional. Semoga saya masih diberi ilham untuk nulis lagi yakk… Heheh.

From travel I learned. Betapa menyesalnya saya jika memang dulu saya memilih untuk tidak ikut dan memutuskan untuk pulang. Saya mulai berpikir bahwa segala ketakutan dan kecemasan itu justru semuanya hanya ada di dalam kepala. Semakin kita tak mampu untuk melawannya maka semakin lama ia bersemayam disana dan lama kelamaan dia akan menguasai pikiran kita. Berdiri di puncak Ijen memberi sesuatu pelajaran baru bahwa “conquer your fears”. Yahh conquer your fears because twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn’t do than by the ones you did do. Atau tak perlu menunggu sampai dua puluh tahun akan datang, sekarangpun saya pasti akan menyesal.

Saya masih ingat kata-kata teman saya seusai mendaki, dengan wajah berbinar dan logat Jakartanya ia bilang. “Naik gunung asik kan Tin. Enak kan? Lo memang pasti berasa capek pas ngedakinya. Tapi pas lo nyampe di puncak capek kebayar.” Yeah, you’re right. Terima kasih yah udah diajak dan dijagain waktu naik Ijen

And finally I’ve left my heart in this place. Kalau ditanya mau nggak naik Ijen lagi. Mauuuuuuuu 😆 Asal jalannya pelan sajayah, biar capeknya tidak berasa dan pada kesempatan lain saya ingin melihat legenda Ijen. Api biru. Hehehe

DSC_0467

Thanks Team 🙂

PS:

  • Ini rahasia yah. Sebenarnya api biru itu ada banyak loh di dunia bukan hanya di Indonesia dan Islandia saja. Mau tahu? Coba deh kalian ke dapur trus nyalain kompor gas. Liat, apinya biru kan? Hehehe… just kidding  :mrgreen:
  • All photos were taken by me and my friends. Saya ijin post foto kalian yah, yah, yah. Diijinin yah? oke, horeee diijinin… Terima kasih…ahahaha